my history ( Perjalanan Bandung - Batam 2003-2012
Pada hari itu aku sudah kerja dan wiraswasta di bandung tempatnya di Bunisari di tempat saudara dari suami adik ku Ai badriyah munawaroh,,,ketika itu aku sudah mempunyai usaha jualan kerupuk yang aku geluti,,namun karna itu aku di ajak sama saudara dari bibi yang bertempat tinggal di jakarta yaiitu ayi yudi suyudi Ak. untuk nemenin Dia ke Batam..Pada awalnya aku ga mau tapi setelah sholat istihoroh aku mencoba untuk mencari pengalaman dan itu pun aku hanya nemenin aja tidak lebih dari sekadar itu, lamanya 3 bulan di tahun 2003 ,, dan meninggalkan usaha aku di bandung waktu itu,,setelah lama di batam selama tiga bulan akau kembali ke bandung ,,sementara itu aku di batam hanya bantu bantu benah benah rumah dinasnya yang di Komplek Pajak tiban V Sekupang Batam, selama tiga bulan itu aku jalan jalan di kota batam yang belum maju seperti sekarang ini 2012 pada tahun 2003 batam hanya lah kota kecil yang belum banya sejuta rukonya yang sampai sekarang masih banyak ruko kosong,,dulu tiban masih sepi,,sekarang tiban sudah rame di huni sama teman teman yang merantau ,,ada kawan yang sudah berhasil ada kawan yang jadi ustadt, ada kawan yang pulang kampung ,,,,yang sekarang berhasil adalah ustadt,jepri dan rahmat siregar yang sekarang telah mengembangkan yayasan awaluddin dan Porum Gemasnya,,,Alhandulillah mereka telah melalui ujian demi ujian yang telah di laluinya,,,sementara ini saya hanyalah orang yang mandiri dan bersyukur apa yang telah saya dapat ini,,,Dapat seorang Istri dan 3 anak putri yang manis manis ,,yang alhamdulillah mereka telah besar dan sekarang yang pertama telah sekolah di Tk Al-Azhar Tiban Batam,,.
Mudaratnya ribawiayah
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو
الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir ra berkata, bahwa
Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang
memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka
semua adalah sama. (HR. Muslim)
Sekilas Tentang Hadits
Hadits
ini merupakan hadits yang disepakati kesahihannya oleh para ulama
hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, diantaranya :
- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.
- Imam Ahmad bin Hambal ra, dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.
Selain
itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang
diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), diantaranya dari jalur
sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang
diriwayatkan oleh :
- Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
- Imam Nasa’I dalam Sunannya, Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.
- Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
- Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya di banyak tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.
- mam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
Makna Hadits Secara Umum
Hadits
yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan
buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya
riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku
riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan
keesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh
Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”
Pelaknatan
Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggabarkan betapa munkarnya
amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat
suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang
luar biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun
dalam skala mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.
Oleh
karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba
dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ;
muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah adalah
“memerangi riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru
menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.
Makna Riba
Dari segi bahasa, riba berarti
tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam
dalam mendefinisikan riba.
- Definsi yang sederhana dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
- Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Intinya adalah, bahwa riba
merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau
didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa
melalui “bunga” dalam hutang piutang, tukar menukar barang sejenis
dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi
dalam semua jenis transaksi maliyah.
Pada
masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena
masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim
tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama
mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa
tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.
Pinjam
meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun
uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila
seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah
ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah
ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap
transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba
jahiliyah.
Riba Merupakan Dosa Besar
Semua ulama sepakat, bahwa riba
merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim.
Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram
mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat
Allah SWT mengharamkan riba. Seorang muslim yang hanif akan merasakan
jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai
pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu
buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.
Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Orang-orang yang memakan
(mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu
karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba.
Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka
barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT
kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang
siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka
dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya."
Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ
الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ
وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, dari
Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’
Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai
Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa
yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan
riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh
berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan
jahat. (Muttafaqun Alaih).
Periodisasi Pengharaman Riba
Sebagaimana khamar, riba tidak
Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama
dengan tahapisasi pengharaman khamar:
1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta.
Pada tahap pertama ini,
Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka
gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali
tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu,
secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang
berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini
justru akan merugikan mereka sendiri.
Pematahan
paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu
tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya)”.
2. Tapap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.
Setelah mematahkan
paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT
lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka
umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena
mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka
sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang
pedih.
Hal
ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 :
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah.
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang
bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka
itu siksa yang pedih”.
3. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.
Lalu pada tahapan yang ketiga,
Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan
menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan
orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa
ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang
adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak
dilarang.
Pemahaman
seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak
dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
4. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahapan terakhir
dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini,
seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba,
baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak
berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan
termasuk dosa besar.
Allah
SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla
hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya.”
Buruknya Muamalah Ribawiyah
Terlalu banyak sesungguhnya
dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang
buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai
riba :
- Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).
- Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
- Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).
- Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
- Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
- Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
- Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).
Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?
Praktik Riba Dalam Kehidupan
Sebagaimana dijelaskan di atas,
bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi
bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti
ini dapat terjadi dihampir seluruh muamalah maliyah kontemporer,
diantaranya adalah pada :
1. Transaksi Perbankan.
Sebagaimana diketahui bersama,
bahwa basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional)
adalah menggunakan basis bunga (interest based). Dimana salah satu
pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya
(bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman
tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan
waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan, apakah
usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.
Praktek
seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada
masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan
dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang
telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran.
Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama
kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang
dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang
mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat
ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.
Selain
terjadi pada aspek pembiyaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi
pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari
bank, sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank
mengalami keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan sistem syariah, di
mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya
nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan yang
didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik
turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank. Istilah seperti
inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.
2. Transaksi Asuransi.
Dalam sektor asuransi pun juga
tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional)
terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam
waktu yang juga tidak sama. Sebagai contoh, seseorang yang
mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah pertahun.
Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan
oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga
mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika
diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari
mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang
ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang
sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).
Pada
saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah
(kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim
yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan.
Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba
nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi
(konvensional) ini. Diantara yang mengaramkannya adalah Sayid Sabiq dan
juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi. Oleh karenanya, dibuatlah solusi
berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi
merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.
3. Transaksi Jual Beli Secara Kredit.
Jual beli kredit yang tidak
diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam
jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfruktuatif, naik dan
turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga
harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman).
Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada
“kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya
perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang
diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di
tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau
oleh daeler dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan
dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.
Belum
lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana
tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa juga bunganya.
Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar
dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dibayarkan. Akhirnya pembeli
kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya berbeda
dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana komposisi cicilan
adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami
perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang
jelas, jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan
menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.
Masih
banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi
di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan
menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini. Cukuplah
nasehat rabbani dari Allah SWT kepada kita “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Diposkan oleh
Rachmad Saleh™
4.5
di
09:05
Langganan:
Postingan (Atom)
alexa.com
kasa kisi
menerima apa adanya dan tidak berbohong pada diri sendiri dan menikmati apa yang dihasilkan dengan jeri payahsendiri da bantuan tuhan kepada kita berupa rezeki yang halalan thoibah,berguna bagi anak dan istri bagi keluarga sesama uamat manusia menjadi pemaaf bagi diri sendiri dan selalu bersyukur atas karunia yang di berikan tuhan berupa hidup sehat akan menjadi ketenangan bathin bagi diri sendiri dan bagi oang di sekitar kita amiiiin semoga bermanfaat bagi diri ini dan bermaanfaat bagi semua orang ( hidup jujur apa adanya )